Imam Syafi’i Ra

1.IMAM SYAFI’I Ra.

Biografi SingkatIMAM SYAFI’I (150 – 204 H)

A. Nasab dan Kelahiran

Nasabnya sama dengan Rasulullah

Tidak ada perbedaan, sepanjang yang saya ketahui, di seluruh para ulama, baik pakar sirah/sejarawan, maupun pakar ilmu hadits dan fiqh tentang khususnya nasab Quraisy ataupun nasab-nasab Arab lainnya, bahwasannya yang dimaksud dengan Sang Ahli Fiqh Imam Syafi’iy adalah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn Saib ibn Ubaid ibn Abdi Yazid ibn Hasyim ibn Muththalib ibn Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Kaab ibn Lu’aiy ibn Ghalib ibn Fihir ibn Malik ibn Nadhar ibn Kinanah.

Beliau memiliki kesamaan nasab dengan Nabi Muhammad pada pertemuan garis keturunan dari Abdi Manaf ibn Qushay. Karena, Nabi Muhammad adalah Muhammad ibn Abdillah ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf. Dan penggelaran beliau dengan Al-Syafi’iy adalah berasal dari urut-urutan silsilah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’.

Dan sudah kami sebutkan bahwa Syafi’ adalah Syafi’ ibn Saib ibn Ubaid ibn Abdi Yazid ibn Hasyim ibn Muththalib ibn Abdi Manaf ibn Qushay. Maka, Nabi Muhammad adalah Hasyimiy, sedangkan Al-Syafi’iy adalah Muththalibiy, sementara itu Hasyim dan Muththalib adalah dua bersaudara, keduanya adalah anak dari Abdi Manaf. Sebab, Abdi Manaf memiliki 4 anak: (i) Hasyim, (ii) Muththalib, (iii) Noval, (iv) Abdu Syams.

Imam Syafi’i Lahir, Imam Abu Hanifah Wafat

Juga, tidak ada perbedaan diantara para ulama, sama sekali, tentang tahun kelahiran beliau, yaitu tahun 150 H, yaitu tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia.

Abdullah ibn Abdul Hakam berkata, “Imam Syafi’i berkata kepadaku: “Aku lahir di kota Ghaza, Palestina, tahun 150 H, kemudian aku pindah ke Makkah, saat itu aku baru berusia 2 tahun.

Berkata Hasan ibn Muhammad ibn Shabah Al-Za’farany, katanya: “Al-Syafi’iy datang ke sini, kota Baghdad, pada tahun 192 H, kemudian beliau tinggal bersama kami selama 2 tahun, kemudian kembali ke Makkah, kemudian kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H untuk beberapa bulan, kemudian pergi ke Mesir. Dan di sanalah beliau wafat.

Telah bercerita Al-Sajiy Abu Yahya ibn Yahya ibn Abdirrahman, “Telah bercerita kepadaku Abdullah ibn Muhammad (anak dari puteri Imam Syafi’i): “Al-Syafi’iy adalah bernasab Muththalib (bani Muthalib), ibunya dari bani Azadiyah, tinggal di Makkah, isterinya adalah Hamdah binti Nafi’ ibn Anbisah ibnAmr ibn Utsman ibn Affan.

Telah bercerita Abul Yaman Yasin ibn Zararah ibn Qatbaniy Al-Humairy, katanya: “Ketika Al-Syafi’iy datang ke Mesir, kakekku menjenguknya dan akupun ikut bersamanya, dan meminta beliau untuk tinggal bersamanya, namun beliau menolaknya dan ingin tinggal bersama keluarga dari Bani Azad, maka beliaupun tinggal bersama mereka.

B. Perjalanan Ilmu

Al-Muzani dan Muhammad ibn Abdul Hakam bercerita, “Al-Syafi’i datang kepada Imam Malik ibn Anas seraya berkata: Aku ingin mendengar dari engkau pelajaran tentang kitab Al-Muwaththa’. Maka, Imam Malik berkata: “Datanglah kepada Habib Katibi, karena dialah yang akan menilai hafalanmu.” Maka, Al-Syafi’i mendatanginya dan berkata: “Engkau, semoga Allah meridhaimu, tolong dengarkan hafalan kitab Muwaththa’-ku, satu halaman saja, jika bagus hafalanku maka ikutkan aku untuk belajar kepada Imam Malik, namun jika jelek, maka tinggalkanlah aku.” Maka, Habib Katibi berkata: “Bacalah.” Maka, Al-Syafi’iy membaca satu halaman, kemudian berhenti. Maka, Imam Malik berkata: “Hei, bacalah satu halaman, kemudian diam,” Imam Malik berkata: “Hei, bacalah.” Maka, Imam Malik menganggap bagus hafalan Al-Syafi’iy dan kemudian membolehkannya untuk belajar kepada Imam Malik.

Kata Al-Muzani dan Muhammad ibn Abdil Hakam: “Sejak saat itu, Al-Syafi’i berani berkata: Telah berkata kepadaku Imam Malik (Metode dalam menyebutkan hadits –pent).

Rabi ibn Sulaiman berkata: “Al-Syafi’iy berkata: “Aku mendatangi Imam Malik, sementara itu aku sudah hafal Al-Muwaththa.” Maka, Imam Malik berkata: “Carilah orang untuk mengetes hafalanmu.” Al-Syafi’iy menjawab: “Tidak, engkaulah yang harus mengetesku, jika engkau tidak keberatan, jika tidak maka aku mencari orang lain.” Maka, Imam Malik berkata: “Coba, bacakan kepadaku.” Maka, kata Al-Syafi’iy: “Dan Imam Malik pun terkesan sekali dengan hafalanku, seraya berkata: “Bacalah Al-Muwaththa dari awal hingga akhir.” Saat itu adalah Al-Syafi’iy baru berusia 13 tahun, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nuaim. Saat itu beliau belum pergi ke Yaman, sebab beliau pergi ke Yaman pada usia 17 tahun.

Rabi ibn Sulaiman berkata: “Aku mendengar Al-Syafi’i berkata: “Aku mengambil banyak ilmu dari Muhammad ibn Al-Hasan (Murid Imam Abu Hanifah).” Rabi’ ibn Sulaiman berkata: “Dan tidak ada yang terlupakan tentang apa yang sudah aku dengar darinya, sampai kata Al-Syafi’iy: “Dan tidaklah aku lihat seseorang ditanya tentang satu masalah dalam urusan Islam yang dibutuhkan kecermatan dan ketelitian dalam menelaah, kecuali aku lihat wajah mereka terlihat tidak suka, kecuali Muhammad ibn Al-Hasan.”

Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam berkata, “Berkata kepadaku Al-Syafi’iy: “Aku, dahulu, tidak memiliki harta, sementara itu aku ingin menimba ilmu, maka aku pergi menuju Dewan agar membolehkan aku menulis beralaskan punggung-punggung mereka.”

C. Kecerdasan Al-Syafi’i dan Pujian Para Ulama Kepadanya

Pujian Sufyan ibn Uyainah

Berkata Suwaid ibn Said, “Aku pernah berada di sisi Sufyan ibn Uyainah di Makkah, maka datanglah Al-Syafi’iy, maka Ibn Uyainah melihat kepadanya dan berkomentar: “Al-Syafi’iy adalah pemuda terbaik di zamannya.”

Berkata Suwaid ibn Said, “Aku pernah berada di sisi Sufyan ibn Uyainah di Makkah, dan datanglah pemuda itu, yaitu Al-Syafi’iy dan berkata: “Ada yang wafat.” Maka berkatalah Ibn Uyainah: “Jika yang wafat adalah Muhammad ibn Idris, maka telah wafatlah pemuda terbaik zaman ini.”

Abdullah ibn Muhammad (putera dari puterinya Imam Syafi’i) berkata: “Aku mendengar bapakku berkata: “Aku mendengar Sufyan ibn Uyainah berkata: “Jika ada orang bertanya kepadaku tentang tafsir Al-Qur’an atau meminta fatwa, maka aku mencari Al-Syafi’iy dan berkata: “Tanyalah kepada Al-Syafi’iy ini.”

Pujian Muslim ibn Khalid Al-Zanjiy, Ahli Fiqh kota Makkah

Rabi’ ibn Sulaiman berkata, “Telah bercerita kepadaku Al-Humaidy, katanya, “Muslim ibn Khalid berkata kepada Al-Syafi’iy: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, saat ini engkau sudah saatnya untuk berfatwa.” Saat itu, Al-Syafi’iy baru berusia 15 tahun.

Pujian Yahya ibn Said Al-Qaththan

Yahya ibn Muhammad Al-Za’farany, “Telah berkata kepadaku Yahya ibn Said Al-Qaththan: “Aku benar-benar telah mendoakan Al-Syafi’iy dalam shalatku dan dalam doa-doaku selama 4 tahun terakhir setelah aku mendengar shahihnya hadits dari Rasulullah.”

Yahya ibn Said berkata: “Aku telah mendoakan Al-Syafi’iy hingga dalam shalat-shalatku.”

Pujian Ahmad ibn Hanbal

Yaqub ibn Ishaq berkata, “Aku datang kepada Imam Syafi’iy untuk belajar, ternyata Ahmad ibn Hanbal sudah ada di sisinya, ia telah mendahului kami, dan ia terus-menerus belajar kepadanya hingga menyelesaikan semua kitab Imam Syafi’iy.”

Abu Tsaur berkata, “Ahmad ibn Hanbal bersama kami duduk di majelisnya Imam Syafi’iy.”

Ishaq ibn Rahuyah berkata, “Aku berjumpa dengan Ahmad ibn Hanbal di Makkah, mata berkatalah ia kepadaku: “Kemarilah, aku akan tunjukkan kau seorang laki-laki yang belum pernah kau lihat sebelumnya, maksudnya Al-Syafi’iy.”

Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata, “Wahai bapakku, kenapa engkau banyak mendoakan Imam Syafi’iy?” Ahmad ibn Hanbal menjawab, “Wahai anakku, Al-Syafi’iy rahimahullah adalah laksana matahari bagi jagad raya, dan laksana kesehatan bagi manusia, maka fikirkanlah apakah ada harta yang sebanding untuk dua hal ini?”

Abdul Malik ibn Abdul Hamid Al-Maimuny berkata, “Aku ada di sisi Ahmad ibn Hanbal dalam sebuah perbincangan yang menyebut nama Imam Syafi’iy, maka aku melihat Ahmad ibn Hanbal memujinya dan memujinya lagi, lalu berkata: “Rasulullah bersabda bahwa Allah akan membangkitkan dari ummat ini setiap 100 tahun orang yang akan menegakkan agama-Nya,” maka, Umar ibn Abdil Aziz ada pada tahun 100 H dan aku berharap Al-Syafi’iy menjadi orang tersebut pada tahun 200 H ini.”

Murid-Murid Imam Syafi’iy di Makkah

1. Abu Bakar Al-Humaidy (meninggal tahun 219 H)
2. Ibn Utsman ibn Syafi’ Al-Muththalibiy (Saudara Misan Al-Syafi’iy)
3. Abu Bakar Muhammad ibn Idris Waraq Al-Humaidiy
4. Abu Al-Walid Musa ibn Abil Jarud ibn Imran

Murid-Murid Imam Syafi’iy di Baghdad

1. Abu Ali Al-Hasan ibn Muhammad ibn Shabah Al-Bazzar Al-Za’faraniy
2. Abu Ali Al-Husain ibn Ali Al-Kuraibisiy
3. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid Al-Kalbiy
4. Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal
5. Abu Ubaid Al-Qasim ibn Sallam
6. Abu Abdirrahman Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya Al-Asyariy Al-Bashriy
7. Abu Yaqub Ishaq ibn Ibrahim ibn Mukhalad

Murid-Murid Imam Syafi’iy di Mesir

1. Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah Al-Najibiy
2. Abu Yaqub Yusuf Al-Buwaithiy
3. Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya Al-Muzani
4. Ibn Syafi’iy, Muhammad ibn Muhammad ibn Idris Al-Syafi’iy
5. Abdul Aziz ibn Imran ibn Ayub Muqlash
6. Abu Musa Yunus ubn Abdul A’laa Al-Shadafiy
7. Bahar ibn Nashr ibnSabiq Al-Khaulany
8. Abu Abdillah Ahmad ibn Yahya Al-Waziriy
9. Asyhab ibn Abdil Aziz
10. Abdullah ibn Abdil Hakam
11. Muhammad ibn Abdullah ibn Hakam
12. Harun ibn Muhammad Al-Ailaa
13. Ibrahim ibn Harum
14. Amr ibn Sawad ibn Aswad
15. Bisyir ibn Bakr
16. Qahzam ibn ABdillah ibnQahzam Al-Aswaniy

D. Al-Syafi’iy Wafat

Imam Syafi’iy meninggal di Mesir pada usia 55 tahun, tepatnya Kamis malam Jum’at, pada hari terakhir di bulan Rajab 204 H.

Rabi’ ibn Sulaiman berkata, “Al-Syafi’iy meninggal pada malam Jum’at, dan dimakamkan pada Jum’at, ba’da Ashar, hari terakhir dari bulan Rajab tahun 204 H, dishalatkan dengan imamnya adalah Al-Sury ibn Hakam, Gubernur Mesir.

Itulah Imam Syafi’iy yang bernama Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Ustman ibn Syafi’ ibn Saib ibn Ubaid ibn Abdi Yazid ibn Hasyim ibn Muthalib ibn Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Lu’aiy ibn Ghalib ibn Fihir ibn Malik ibn Nadhar ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan ibn Adad ibn Humaisa’ ibn Alnabt ibn Ismail ibn Ibrahim Khalilullah.***

Sumber: Al-Intiqa’ min Fadha’il Al-Tsalatsah Al-Aimmah Al-Fuqaha
Karya: Imam Ibn Abdil Bar (463 H)

Sebelumnya: Biografi Syaikh Al-Allamah Abdullah ibn Abdurrahman Al-Bassam

Pendirinya:

Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Al abbas Asyafi’i al Quraisyi, dilahirkan di Ghazzah, Pakistan tahun 150 H. pada waktu umur dua tahun dibawa ibunya ke Makkah, dibesarkan di sana dalam keadaan yatim, dan hafal Al-qur’an di waktu kanak-kanak kemudian ke luar kampung Badui menghafal syair dan belajar bahasa, setelah itu mempelajari hadits dan fiqh, dan hafal kitab Muwaththo’ serta diizinkan oleh gurunya yaitu Muslim bin Kholid Azzinji untuk berfatwa di bidang fiqh, sedang umur beliau baru menginjak dua puluh atau lima belas tahun.

Untuk mendalami ilmunya Imam Syafi’i sering berpergian belajar ke beberapa kota, umpanya ke Yaman dan Bahgdad. Beliau pulang balik ke baghdad sebanyak tiga kali, pertama tahun 184 H. kemudian tahun 195 H. di mana mendiktekan buku-bukunya yang ditulis dalam Qaul Qodhim, dan yang ketiga pada tahun 198 H.

Setelah itu beliau pergi ke Mesir dan singgah di kota fusthot (sekarang Cairo) pada tahun 200 H menjadi tamu kehormatan Ibnul Abdil Hakam al Malik. Di Mesir beliau mendiktekan Qaul Jadidnya kepada murid-muridnya.

Imam Syafi’i adalah satu-satunya Imam yang menyebarkan madzhabnya sendiri, menulis bukunya sendiri dan mendiktekannya sendiri kepada murid-muridnya. Imam-Imam lain tidak ada yang demikian.

Pokok-Pokok ajaran Imam Syafi’i

Imam Syafi’i telah berhasil menyatukan cara ahli ra’yu dan cara hadits, sehingga madzhabnyapun menjadi penengah antara madzhab Hanafi dan Maliki. Imam Syafi’i menuliskan pokok-pokok madzhabnya di dalam bukunya Ar Risalah yang intinya sebagai berikut:

1. Berhujjah dengan lahir nash Al-Qur’an kecuali bila ada dalil yang mengharuskan meninggalkan lahir nash tersebut.

2. Kemudian berhujjah dengan sunnah Nabawiyah, beliau menggunakan hadits ahad selagi perawinya tsiqoh (terpercaya) dan dlobith (mantap hafalannya) dan muttasil sampai kepada Rosulullah SAW.

3. Kemudian berhujjah dengan ijma’

4. Kemudian berhujjah dengan qiyas, bila terdapat pokok hakekat dalam menggunakan qiyas, menolak istihsan yang dipergunakan dalam menggunakan qiyas, menolak Maslahah Mursalah yang dipakai oleh Malik. Akan tetapi beliau menggunakan istidlal.

Karangan-karangan Imam Syafi’i

Tidak terhitung jumlah murid-murid dan pengikut Imam Syafi’i yang belajar ilmu darinya, ada yang di Hijaz, Iraq, Mesir, dan negara-negara Islam Lainnya. Di antara murid-muridnya adalah : Akhmad bin Hambal pendiri Madzhab Hambali, daud Al Dzahiri pendiri madzhab Dzagiri, Abu Tsur dan Ibnu Jarir At Thabari.

Di antara murid-murid dari Mesir yang menuntut ilmu kepada beliau dan mengambil madzhabnya :

1. Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al buwaithy.

Dulunya terbilang paling lambat dalam belajar ketimbang yang lain. Murid dan pengikut Syafi’i yang terbesar. Imam Syafi’i sering menyandarkan kepadanya suatu masalah dan menunjuknya sebagai pimpinan murid-muridnya setelah Imam meninggal. Al Buwaithy meningga tahun 231 H.

2. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya Al Muzni.

Dibesarkan di tengah-tengah kalangan ilmu dan riwayat hadits. Ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir beliau belajar fiqh kepada Imam sampai matang, beliau menyusun banyak karangan sekitar Madzhab Syafi’i. Meninggal tahun 264 H.

Tersebarnya Madzhab Syafi’i

Madzhab Syafi’i dipergunakan di Mesir semenjak beliau ada di Mesir sampai berkuasanya Daulat Fathimiyah yang menggugurkan penggunaan berbagai madzhab. Akan tetapi pada masa Daulah Ayubiyah Madzhab Syafi’i kuat kembali dan dijadikan madzhab negara.

Pengikut Madzhab Syafi’i banyak tersebar di Syiria, Libanon khususnya kota Bairut, di Iraq, India, china, penduduk-penduduk Iran dan Yaman yang menganut Ahli Sunnah. Madzhab Syafi’i adalah madzhab mayoritas di Indonesia dalam hal ibadat dan mu’amalat, madzhab ini juga terdapat di Sailan, Filipina, Hijaz dan sebagainya.

2 Komentar

2 thoughts on “Imam Syafi’i Ra

    • Gimana caranya kalau orang sekarang ini tidak mau bermadzhab?
      Dengan alasan langsung aja ikuti qur’an dan sunnah ( hadits ), lagi pula cara wudhunya saja ikut sama orang dll apa itu bukan dikatakan tidak bermadzhab? Jadi orang tdk mau bermadzhab itu tandanya orang itu kurang ilmu terkecuali kita mau ijtihad sendiri itu tdk masalah tapi berijtihd dengan sendirinya apa gampang? Bahkan perawi hadits shahih saja bermadzhab seperti imam bukhari dan imam muslim.
      Wallahu a’lam

Tinggalkan komentar